Oleh: Muliadi Mau

Pa Habibie merupakan sosok yang sangat fenomenal di tanah air atau bahkan dunia. Beliau dikenal cerdas, humanis, religius & pecinta sejati. Tak mengherankan jika banyak orang mengidolakannya. Termasuk sàya pribadi.
Salah satu yang membuat saya mengidolakan pa Habibie adalah perhatiannya terhadap rakyat kecil. Salah satunya rakyat kecil di Katukobari Desa Lantongau Mawasangka.
Saat itu masyarakat desa Lantongau (Katukobari) sangat kekurangan sumber air bersih yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari. Maklum desa ini terletak di atas lereng pegunungan berbatu cadas. Satu-satunya sumber mata air utama yang layak konsumsi bagi masyarakat Katukobari saat itu adalah Air Gua Koo.
Mata air Gua Koo saat itu terletak sekitar 1000 meter dari pusat pemukiman warga. Namun bukan jaraknya yang 1000 meter itu yang jadi persoalan bagi masyarakat. Yang jadi persoalan utama adalah posisi sumber mata air yang jaraknya bisa mencapai lebih kurang 100 meter dari permukaan Gua yang terjal.
Bayangkan, untuk bisa mengambil air dalam Gua Koo ini, masyarakat harus menuruni puluhan atau bahkan ratusan anak tangga yang terbuat dari kayu seadanya. Di sisi kanan kiri tangga tersebut bergelantungan akar pohon besar sebagai tempat berpegangan saat menuruni atau menaiki anak tangga tersebut. Maklum anak tangganya sangat licin lantaran berlumut. Satu tangan berpegang di akar pohon & satu tangannya lagi digunakan untuk memegang Jerrycan air bagi pria. Bagi ibu-ibu atau gadis-gadis, satu tangan berpegang pada akar kayu yang bergelantungan di sisi tangga dan tangan satunya lagi memegang & mengendalikan Candy Air (Bosu) yg dijunjung di atas kepalanya sambil memastikan sarung yang melilit tubuhnya tetap membalut dada atas hingga lutut.
Entah siapa yang membisiki pa Habibie hingga beliau berkenan turun langsung menyaksikan & memberi solusi atas persoalam yang dihadapi masyarakat Katukobari Lantongau saat itu. Saya lupa tahun persisnya, yang pasti saat itu saya sedang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) di Mawasangka. Itu artinya sekitar tahun 70-akhir atau awal 80-an. Yang pasti, camat Mawasangka saat itu dijabat pa La Umbu, BA.
Beberapa hari menjelang kedatangan pa Habibie di Mawasangka, pa Camat La Umbu sudah menginstruksikan kepada seluruh guru & kepala sekolah SD di Mawasangka untuk mengerahkan seluruh siswa menyambut kedatangan pa Habibie.
Mendengar instruksi tersebut kami anak-anak SD sangat senang sekali. Apalagi tersiar kabar bahwa pa Habibie ke Mawasangka akan naik helikopter hasil buatannya sendiri. Bukan itu saja, pa Camat bilang bahwa pa Habibie akan ikut memboyong keluarganya ke Mawasangka.
Beberapa jam sebelum kedatangan beliau, lapangan lembah hijau Mawasangka tempat pendaratan Helikopter pa Habibie sudah dipadati siswa SD. Setiap siswa memegang bendera mini merahputih yang terbuat dari kertas minyak. Boleh dibilang lapangan Mawasangka saat itu berisi lautan siswa yang melambai-lambaikan bendera mini merah putih. Yang tersisah hanya ruang untuk pendaratan Helikopter pa Habibie.
Trus terang, tingginya animo masyarakat hadir ke lapangan Mawasangka saat itu selain didorong oleh sosok pa Habibie juga karena ingin menyaksikan secara langsung Helolikopter yang disebut-disebut dibuat langsung oleh pa Habibie. Apalagi sependek pengetahuanku, helikopter pa Habibie tersebut merupakan Helikopter pertama yang mendarat di tanah Mawasangka. Maklum saat itu Helikopter merupakan alat trasportasi langkah. Jangankan Helikopter, motor & mobil saja masih merupakan barang mewah saat itu di Mawasangka. Apalagi yang namanya pesawat terbang. Jadi wajar kalo masyarakat berbondong-bondong menyaksikan kehadiran pa Habibie. .
Sesaat kemudian terdengar suara Helikopter dari arah timur langit biru Mawasangka. Suaranya makin lama makin terdengar dekat. Sejumlah Hansip, Polisi & Tentara terlihat bersiaga di sekitar titik pendaratan.
“Tutup telingamu rapat-rapat. Kalau helikopternya sudah mau mendarat harus cepat-cepat tiarap. Nanti kau diterbangkan anginnya,” kata salah seorang teman.
Hanya dalam hitungan menit, Helikopter yang ditumpangi pa Habibie sudah mendarat dengan mulus dan selamat di Lapangan lembah hijau Mawasangka. Sesaat kemudian pintu Helikopter terbuka. Pa Habibie dengan topinya yang khas tampak keluar sambil menggandeng lengan Ainun Habibie. Pasangan cinta sejati ini melambaikan tangan & menyebar senyum khas pada masyarakat Mawasangka yang menyambutnya saat. Di belakang mereka diikuti oleh 2 putra kesayangan mereka, Ilham & Kemal Habibie. Sepanjang perjalanan dari Lapangan Mawasangka ke Rumah Jabatan Camat masyarakat terus mengelu-elukan nama pa Habibie.
“Hidup Habibie… Hidup Habibie,”
Setelah istrahat sejenak pa Habibie & keluarga segera menuju ke desa Lantongau Katukobari. Di sini beliau & keluarga juga disambut meriah oleh masyarakat setempat. Sejumlah tokoh adat juga tampak menyambut pa Habibie & keluarga.
Setelah meninjau lokasi & memeriksa kondisi air Gua Koo, pa Habibie langsung mengambil keputusan untuk membangun proyek penyedotan air Gua Koo agar masyarakat tak perlu lagi repot-repot turun kedalam air dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Masaalahnya saat itu di desa Lantongau Katukobari belum ada sumber aliran listrik untuk menggerakkan mesin penyedot air.
“Tak masaalah. Kita pake Solar System,” kata Pa Habibie singkat.
Sejak saat itu dibangunlah pembangkit listrik Solar System atau Tenaga Surya di sekitar Gua Koo. Setauku inilah proyek pembangkit lustrik pertama di Buton yang menggunakan Solar System.
Alhasil, sejak dibangunnya proyek tersebut masyarakat Katukobari Desa Lantongau Mawasangka tak lagi kesulitan mendapatkan air bersih.
Trimakasih pa Habibie. Insya Allah jerih payahmu & amal baikmu untuk masyarakat Buton khususnya masyarakat Katukobari desa Lantongau Mawasangka akan bernilai ibadah di mata Allah. Aamin Ya Roabbal Aalamin. Makassar, 12 September 2019.

