Site icon BAUBAUPOST.COM

Kathomboro Tampil Kembali Setelah 52 Tahun “Tidur Panjang”

F01.6 Tampak beberapa siswa SDN 2 Baadia saat pertama kali memainkan musik Kathomboro Copy

Tampak beberapa siswa SDN 2 Baadia saat pertama kali memainkan musik Kathomboro

Siapa tidak menyangka jika di tanah Buton terdapat salah satu kesenian musik tradisional yang sudah tidak eksis lagi. Musik ini cukup sederhana dan tidak seperti pada musik tradisional kebanyakan. Kathombro atau musik bambu yang dimainkan dengan cara ditiup ini, sudah menghilang sekitar 52 tahun yang lalu.

Catatan: Zaman Adha

Memang banyak yang tidak begitu mengetahui asal usul kesenian ini, karena para guru maupun para pelaku kesenian sudah wafat. Sehingga tidak ada generasi yang sempat meneruskan kesenian ini. Hal ini tidaklah mengherankan, jika tidak ada yang berniat untuk melestarikannya.

Namun berkat upaya Pemerintah Kota Baubau dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) akhirnya Kathomboro dapat kembali tayang. Ditangan terampil seorang guru musik dari tanah Buton, La Ode Musrimin, siswa-siswa dari SDN 2 Baadia sukses membawakan musik ini dihadapan Walikota Baubau, Dr H AS Tamrin MH, pada pembukaan lomba kabhanti beberapa waktu lalu.

Saat kembali dimainkan, musik ini memang masih monoton, karena belum memiliki tangga nada yang dinamis seperti musik pada umumnya. Meski demikian, patut dibanggakan musik ini dapat kembali eksis walaupun dengan segala keterbatasan yang ada.

Menurut La Ode Musrimin, saat mengajarkan kepada anak didiknya, dia cukup kesulitan untuk menentukan nada. Belum ada dinamika dalam permainan musik. Namun yang cukup unik, musik ini dimainkan berkelompok layaknya orkestra, dengan peserta hingga 40 orang.

Ukuran alat musiknya pun ada yang paling besar untuk suara bas, dan berurut hingga yang terkecil mirip seruling. Terdapat seseorang seperti komposer yang memandu para pemain agar teratur suara musiknya. Tidak ketinggalan pula, suara seruling bambu untuk membuat musik ini semakin berwarna.

“Musik ini sudah sekitar 50 tahun lalu sudah hilang dan baru ditampilkan lagi. Inipun musiknya tidak bisa lagi kita mencari yang mana tonika, dominan, sub dominan maupun yang lainnya, jadi tidak bisa kita harapkan seperti musik yang seharusnya ada perpindahan nada, sehingga dapat dikatakan musiknya masih monoton,” bebernya.

Apapun kendala yang dihadapi, pria paruh baya ini tetap optimis musik Kathomboro dapat terus eksis seiring kemajuan zaman. Kesenian ini memang selayaknya harus terus dihidupkan, karena ini adalah peninggalan para leluhur tanah Buton.

Bersama Pemerintah Kota Baubau, pria berkacamata ini berencana akan terus menyempurnakan musik Kathomboro ini agar dapat menarik. Perlu ada penyempurnaan disana sini, baik itu dari segi nada maupun skill para pemain yang harus terus diasah. Sekolah menjadi pilihan untuk pengembangan musik bambu ini. Karena siswa merupakan penerus daerah, ditangan merekalah kemajuan daerah bertumpu untuk kedepannya.

“Musik ini masih bisa terus dikembangkan, rencananya kami akan terus sempurnakan, untuk kemudian diajarkan ke sekolah-sekolah,” katannya sambil tersenyum.

Terbesit harapan dibenaknya, musik tradisional di tanah Buton yang hampir punah dapat dihidupkan kembali, agar tidak bernasib sama dengan Kathomboro yang terlupa. Jangan sampai karena tidak lagi diperhatikan, musik-musik tradisional Buton ini sudah betul-betul punah. Dalam pandangannya, pendidikan musik tradisional di sekolah selain membuat generasi muda mencintai budayanya, juga dapat mengikis kenakalan remaja yang akhir-akhir ini semakin memperihatinkan.

Sudah saatnya Kathomboro bangun dari tidur panjangnya, dan kembali mewarnai semaraknya kebudayaan di tanah Buton. (**)

This website uses cookies.

This website uses cookies.

Exit mobile version