DI KOTA BAUBAU dan pada umumnya warung makan minimal di dalam bangunan yang disebut warung, rumah makan, atau restoran. Di Sidoarjo Jawa Timur tidak demikian, makanan sudah lumrah dijual di depan ruko yang kebetulan tidak buka, beralaskan tikar dilengkapi aksesoris warung, lumayan banyak peminat.
Yuhandri Hardiman, SIDOARJO
DI BEBERAPA titik di pinggir jalan gerimis turun perlahan, langit Sidoarjo ditudung mendung. Pemandangan pedagang kuliner dapat dijumpai di beberapa tempat di depan rukao yang kebetulan tutup. Terlihat banyak warga mampir dan sarapan pagi.
Kami baru saja datang dari arah Surabaya dan sejak tadi mencari warung untuk sarapan pagi, Senin 12 Desember 2016. Saya tergoda penjual nasi yang menggelar tikar sedari tadi.
Ada sebuah espas hijau parkir di depan sebuah ruko. Di kaca mobil belakang terpampang tulisan pada sebuah baliho kecil warna kuning. Tertulis dua menu, pecel dan nasi campur.
Lalu di teras ruko sudah digelar tikar berwarna hijau lengkap dengan tisu layaknya sebuah warung. Bu Jamil sedang sibuk membungkus pecel pesanan pelanggan, pagi itu pukul 10.00 WIB.
“Ayo silahkan….! Mau pesan apa,” kepadaku yang sambil mengatur posisi duduk.
Saya agak bingung? “Duduknya menghadap ke Ruko atau menghadap ke jalan?” Tanyaku kepada Ibu Jamil yang mengambil posisi duduk di agak depan membelakangi ruko dengan meja pendek ukuran untuk orang duduk bersila. “Duduk menghadap keramaian saja”.
“Saya pesan ikan bu!” sambil perbaiki duduk menghadap jalan. “Tidak ada ikan pak, hanya nasi campur ayam dengan pecel,” kata bu Jamil.
Sebetulnya dari tadi saya ingin makan ikan tetapi beberapa warung yang kami singgai selalu tidak menyediakan ikan. Di warung bu Jamil kami sudah terlanjur masuk dan mengambil posisi bersila ditambah perut sudah keroncongan.
Sementara bu Jamil menyediakan makanan, suaminya pak Jamil datang. “Minumnya apa? Teh atau kopi?
Rupanya mobil espas yang parkir pas di bahu jalan adalah dapur tempat menyediakan minuman seperti teh, kopi, jeruk, dan aneka jus.
“Saya minta teh hangat!”
Bu Jamil bisa laku 500 sampai Rp 700 ribu rupiah. Dia menjual di kawasan itu sudah selitar dua tahun. Di ruko tempat ia menjual sudah lumayan agak lama tutup alias tidak beroperasi. Ruko-ruko seperti itulah yang dimanfaatkan ibu Jamil untuk berdagang nasi campur dan pecel antara pukul 06.00 hingga pukul 10.00 WIB.
Nasi campur Rp 14 ribu pecel Rp 8000. Pembeli berfariasi siapa saja yang suka pecel langsung singgah dan beli. Salah seorang ibu singgah beli pecel untuk dibungkus.
Ibu itu tertawa geli ketika saya mengucapkan “ibu sering beli pecel di sini ya?” Rupanya cara saya mengucapkan kata pecel agak berbeda dengan pengucapan orang jawa yang terdengar halus. Ibu Jamil yang juga ikutan tertawa mengajari saya cara mengucapkan pecel yang benar. “Oooh pcell,” sambil saya juga ikut tertawa hehehe.
Ibu itu baru kali itu berbelanja di warung ibu Jamil bersama anak gadisnya. “Saya hobi pecel,” kata ibu itu tetapi ia sering berbelanja di area itu di Sidoarjo.
Sepertinya tempat makan seperti ini juga bisa dilakukan orang Baubau. Tidak butuh investasi besar, cukup memanfaatkan teras ruko dan menunggu pembeli yang sedang berkendara.
Satu hal yang sedikit mengganggu konsentrasi Ibu Jamil saat menjual. Yakni di waktu-waktu tertentu dia dilarang menjual oleh Satpol PP.(***)
