F01.5 DPRD Busel menggelar RDP bersama Badan Keuangan Daerah BuselDPRD Busel menggelar RDP bersama Badan Keuangan Daerah Busel

BATAUGA, BP – Polemik pengalokasian sisa anggaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) tahun 2019 di Buton Selatan (Busel) sebesar Rp 9 miliar dari 12 miliar, terus disuarakan oleh Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Penyambung Lidah Rakyat (Gempur).

Atas aspirasi itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten (Busel) menindaklanjutinya dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Keuangan Daerah Busel, serta dihadiri Sekda Busel, Gempur dan sejumlah OPD lainnya di gedung Lamaindo, Kamis (18/03).

Dalam RDP itu, Kepala Badan Keuangan Busel, La Ode Sukarman, melalui kepala bidang anggarannya, Wa Ode Juniati, menjelaskan, anggaran TTP sebesar 12 miliar tahun 2019, sebelumnya sudah disepakati bersama antara pemerintah daerah melalui tim anggaran dan DPRD. Kemudian ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup).

“Namun dalam perjalanannya ditahun 2019 ketentuan itu berubah begitupula regulasinya. Perubahan itu bukan disebut pergeseran anggaran, namun masuk pada perubahan anggaran tahun 2019,” jelasnya.

Berdasarkan keputusan bersama pada anggaran perubahan, lanjut Juniati, anggaran TPP yang tadinya sebesar Rp 12 miliar kemudian di potong Rp 9 miliar. Artinya, hanya Rp 3 miliar yang disalurkan oleh Pemda untuk membayarkan TPP ASN untuk tiga bulan terakhir 2019. Hal ini juga berdasarkan keputusan Gubernur Sultra.

“Dan berdasarkan hasil keputusan provinsi saat rapat evaluasi APBD, tidak ada kesalahan dalam pengurangan anggaran TPP ini,” tambahnya.

Kata Juniati dalam catatan keuangan, anggaran Rp 9 miliar yang tersebut dialokasikan pada beberapa prioritas anggaran, dalam hal ini pembangunan infrastruktur jalan dan dermaga atau pelabuhan. Kedua, untuk perencanaan fisik untuk menunjang pembangunan fisik khususnya pada anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2020.

Ketiga, penyelesaian sertifikat lahan. Selanjutnya kegiatan penunjang peningkatan pemerintah desa. Kemudian penyertaan modal dalam menunjang sarana dan prasarana air bersih tahun 2019.

“Jadi anggaran tersebut menjadi prioritas di tahun 2019,” jelasnya.

Kata dia, sebelum anggaran TPP itu dialihkan, pihaknya sudah berkonsultasi dengan beberapa lembaga yang punya kewenangan untuk menjawab masalah ini. Jawaban yang didapat, semua itu disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

“Kemampuan keuangan daerah kita, dalam sisi PAD itu dinilai masih kecil. Karena kita masih mengharap dari dana transfer. Sehingga saya menilai anggaran Rp 9 miliar ini tidak ada penyimpangan, karena didistribusikan untuk kepentingan daerah,” ucapnya

Menanggapi hal itu, Anggota DPRD Busel, Ashadin mengatakan, dirinya telah beberapa kali menyuarakan pembayaran TPP ini kepada eksekutif, agar proses penyalurannya tidak dipersulit. Menurut alasan pemerintah untuk menyalurkan TPP itu terlampau berbelit-belit dan memperumit keadaan.

“Saya pernah tanyakan dengan salah satu SKPD di Busel ini, dia jelaskan aturannya panjang lebar, hanya yang jadi pertanyaan saya, kok kenapa daerah lain bisa di Busel tidak bisa,” jelasnya.

Ia mengakui, jika tak membaca dokumen APBD Busel tahun 2020 ini mengingat dirinya tak lagi di Badan Anggaran (Banggar). Selain itu, dirinya juga saat ini tak tertarik membahas anggaran pembangunan di Busel. Pasalnya, apa yang disuarakan tak pernah disetujui pemerintah daerah.

“Nanti 2022 baru kita mulai baru lagi, karena sudah selesai masa jabatannya, baru kita ngomong lagi,” tegasnya.

Kendati begitu, ia meminta kepada pemerintah daerah untuk memikirkan nasib para ASN di Busel. Artinya, hak-hak para ASN seperti TPP dan LP harus diselesaikan.

“Saya sampaikan kepada para demonstran bahwa, ditangan saudara-saudara daerah ini ditentukan. Dan saya apresiasi gerakan ini,” imbuhnya.

Sementara legislator Hanura La Ode Amal mengatakan, masalah TPP ini telah diikutinya sampai pada rapat evaluasi anggaran di tingkat provinsi. Saat pertemuan itu, ia langsung pertanyakan persoalan ini ke Kepala Biro Keuangan beserta kronologis penganggarannya.

“Jadi penjelasan dari Biro Keuangan itu menyatakan bahwa, sepanjang anggaran yang dipotong itu tidak digunakan itu tidak menjadi soal. Karena disitu tidak ada kerugian negara,” bebernya.

“Nah yang harus dijelaskan keuangan sekarang, dari Rp 9 miliar itu, berapa rupiah anggaran dermaga dikucurkan, perencanaan berapa, penyertaan modal di PDAM dan anggaran ganti rugi lahan itu berapa? Ini yang mau kita dengar dari keuangan ini,” tambahnya.

Berbeda dengan legislator PKS, La Muhadi. Dikatakan, masalah TPP ini juga pernah pertanyakannya pada Kepala Keuangan Sultra, Isma. Dalam pertemuan itu ia pertanyakan apakah terdapat pelanggaran hukum, jika anggaran yang sebelumnya ditetapkan kemudian dalam perjalanannya terjadi pemotongan atau pengurusan. Sebab jika terjadi pelanggaran, maka bukan hanya eksekutif saja yang melanggar melainkan juga dengan legislatif karena ikut menyetujui anggaran tersebut.

“Jadi dalam penjelasannya, kejadian seperti ini juga pernah terjadi di provinsi. Hal yang sudah ditetapkan kemudian diubah dalam perjalannya. Oleh BPK hal ini dianggap itu tidak masalah. Nah saat ini anggaran itu sedang dalam domain BPK. Jadi, atas nama daerah dulu, kami memutuskan untuk menyampingkan dulu kepentingan pegawai melalui TPP ini. Dan kita bayarkan Rp 3 miliar saja. Apalagi sejumlah administrasi dan persyaratan itu belum siap,” bebernya.

Menurutnya, pengurangan anggaran TPP masuk dalam politik kebijakan umum anggaran. Sama hal nya ketika bupati melantik salah satu pejabatnya atau membedakan besaran anggaran satu dinas dengan dinas atau badan lainnya. Semua itu merupakan subjektifitas pemimpin, namun dalam pemerintahan disebut kebijakan politik birokrasi.

“Misalnya PDAM. Kenapa kita harus kucurkan anggaran di situ, karena ini kebutuhan masyarakat kita. Makanya yang kita korbankan adalah ASN kita,” tambahnya.

Sebelumnya, sejumlah mahasiswa menanyakan alasan pemerintah tidak membayarkan TPP kepada ASN. Padahal, dasar hukum pembayaran tersebut telah tertuang pada Perbup nomor 1 tahun 2019. Selain itu juga, pemerintah daerah tak membayarkan tunjangan lauk pauk (LP) para ASN. Padahal, pemerintah Busel menerapkan lima hari kerja.

“Bagaimana para PNS kita ini mau kerja bagus-bagus kalau hak nya mereka dikebiri. Setiap saya lewat jam 12 para PNS ini sudah pulang. Mereka terkesan malas-malasan. Mereka ini hanya harapkan gaji to. Sementara mereka ini ada anaknya, mungkin keluarganya,” nilai salah satu peserta aksi, La Rizalan.

Menurut Rizal, sapaan akrab La Rizalan, pemerintah daerah tak usah berfikir, ekonomi di Busel akan bergerak dengan baik meski dipaksa untuk tinggal di Busel. Sebab sebagian gaji mereka telah digadaikan di bank. Sehingga yang diharap hanyalah tunjangan-tunjangan tersebut.

“Sekarang saya mau tanya, berapa SPPD bupati dalam satu tahun anggaran,” tukasnya.

Peliput : Amirul