Oleh: Aliman
(Kepala Bidang Pengelolaan Aset Daerah BPKAPD Kota Baubau)
PADA tanggal 28 Juli 2020 yang lalu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021. Permendagri ini akan menjadi pedoman bagi setiap daerah di seluruh Indonesia pada saat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) TA 2021, termasuk dalam penyusunan Perubahan APBD TA 2021.

Sepintas, Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2021 tidak berbeda dengan Permendagri yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, apabila dilihat, diteliti, dan dipahami secara mendalam, nampak bahwa salah satu perbedaan substansial yang sangat signifikan dalam Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD 2021 adalah dimasukkannya klausul pentingnya Rencana
Kebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.D.8 dan I.D.10 Permendagri Nomor 64 Tahun 2020 di mana Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) disusun antara lain dengan menggunakan pendekatan penganggaran berdasarkan kinerja, dan dilaksanakan dengan berpedoman RKBMD. Kemudian, dalam Lampiran I.D.30 Permendagri Nomor 64 Tahun 2020 dinyatakan bahwa Surat Edaran Kepala Daerah perihal Pedoman Penyusunan RKA-SKPD dan Perubahan DPA-SKPD antara lain memuat lampiran dokumen RKBMD.
RKBMD sebagai salah satu dokumen dalam penyusunan APBD sebenarnya telah digaungkan oleh Pemerintah Pusat pada awal reformasi, yaitu ketika diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah. Pada saat itu, RKBMD masih dinamakan dengan Rencana Kebutuhan Barang Unit (RKBU). Akan tetapi, Pemerintah Pusat belum secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa rencana kebutuhan barang bersifat wajib dalam penyusunan rancangan APBD dan dasar dari penyusunan RKBU.
Seiring dengan terbitnya Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, kedudukan RKBMD semakin penting, bukan hanya menjadi syarat cukup (sufficient condition), atau disusun hanya sekedar menggugurkan amanat peraturan perundang-undangan, tetapi sudah menjadi syarat wajib (necessary condition) dalam penyusunan dan pembahasan rancangan APBD antara pemerintah dan DPRD. Perencanaan anggaran menurut ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi dilihat seolah-olah hanya dimulai dari tahapan penyusunan dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS), RKA-SKPD, dan APBD, melainkan dimulai dari RKPD, KUA/PPAS dan RKBMD, RKA-SKPD, serta APBD. Bahkan, untuk lebih menjamin value for money (ekonomis, efisiensi, dan efektivitas) perencanaan barang, rancangan RKBMD yang berasal dari rancangan RKPD idealnya ada sebelum pelaksanaan Forum SKPD, sehingga ketika RKPD ditetapkan, rincian jenis barang, jumlah, dan sasaran barang yang akan direncanakan, sinkron atau match dengan RKBMD. Dalam tahapan ini, kolaborasi antara Bappeda sebagai leading sector perencanaan pembangunan dengan Dinas/Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah menjadi sangat penting dan perlu.
Dengan semakin pentingnya kedudukan RKBMD, setidaknya telah membawa 4 (empat) implikasi penting dalam perencanaan pembangunan dan anggaran. Pertama, dokumen RKPD sebagai pedoman KUA/PPAS dan RKBMD disusun tidak hanya mempedomani ketentuan peraturan perundangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan dan anggaran, tetapi juga mempedomani perencanaan barang, yaitu Permendagri Nomor 19 Tahun 2016. Kedua, RKPD harus mencantumkan pagu anggaran indikatif untuk selanjutnya menjadi pagu anggaran definitif setelah disepakati KUA/PPAS oleh Pemerintah dan DPRD sehingga guna menjamin keandalan pagu indikatif, proses penyusunan dokumen RKPD harus dilakukan secara benar oleh orang-orang yang tepat dan didukung dengan data base perencanaan yang akurat. Paradigma mengindikatifkan pagu definitif KUA/PPAS dalam RKPD diubah dengan paradigma mendefinitifkan pagu indikatif RKPD dalam KUA/PPAS. Konstruksi hubungan kausalitas antara RKPD dan KUA/PPAS adalah satu arah (unidirectional causality), dari RKPD ke KUA/PPAS dan RKBMD, bukan dari KUA/PPAS dan RKBMD ke RKPD. Ketiga, RKBMD yang terdiri atas RKBMD pengadaan dan pemeliharaan BMD adalah acuan RKA-SKPD dan bukan RKA-SKPD menjadi dasar penyusunan RKBMD, sehingga RKPD sebagai acuan penyusunan RKBMD, sedapat mungkin telah mencantumkan jenis barang yang akan diadakan dan/atau barang yang akan dilakukan pemeliharaan pada tahun anggaran yang sedang direncanakan, dan keempat, perencanaan kebutuhan BMD yang tercantum dalam RKBMD akan menjadi acuan pengadaan dan pemeliharaan BMD yang akan dianggarkan dalam APBD. Dalam hal ini, meskipun dokumen RKBMD tidak mencantumkan nilai anggaran atas suatu barang yang direncanakan, akan tetapi nama dan jumlah barang yang akan dianggarkan dalam APBD tidak boleh berbeda dengan RKBMD guna menghindari munculnya anggaran “siluman” dalam APBD sebagaimana pernah terjadi dalam kasus pengadaan perangkat alat uninterruptible power supply (UPS) DKI Jakarta pada tahun 2014 dan 2015 yang lalu.
Kini, pilihan ada di tangan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat sebagai regulator telah menyiapkan menu untuk dipilih. Apakah Pemerintah Daerah akan menyusun perencanaan anggaran secara tertib sesuai dengan tata urutan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan? Dalam hal ini, RKBMD setidaknya dapat memberikan jaminan pengalokasian anggaran secara ekonomis atau meminimalkan pemborosan anggaran yang belum perlu dalam pengadaan dan pemeliharaan BMD, yang pada akhirnya akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas pengalokasian atas setiap rupiah anggaran daerah.(#)