F01.1Danramil 1413/04-Mawasangka Kapten (Inf) Didi Arman

Danramil Mawasangka Enggan Tanda Tangani Laporan Bulanan
Peliput: Anton Editor: Hasrin Ilmi

LABUNGKARI, BP – Danramil 1413/04-Mawasangka Kapten (Inf) Didi Arman menilai program Cetak Sawah di Desa Terapung Kecamatan Mawasangka yang diadakan sejak tahun 2016 gagal total. Program cetak sawah tersebut dimotori oleh Kementerian Pertanian melalui Dinas Pertanian Kabupaten Buton Tengah, yang bekerjasama dengan pihak Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) khususnya Angkatan Darat.

Kapten (Inf) Didi Arman ketika dikonfirmasi Baubau Post senin (19/06) mengatakan, sejak bertugas menjadi Danramil 1413/04-Mawasangka pada April 2017, terhitung baru satu kali ia menanda tangani laporan bulanan terkait pantauan perkembangan program cetak sawah tersebut.

Bahkan, dirinya mengaku tidak mau menanda tangani laporan bukan tanpa alasan, pasalnya tidak ingin jadi korban dikemudian hari terkait persoalan gagalnya program cetak sawah yang menelan anggaran ratusan juta itu.

“Sejak hadir disini saya sudah melihat kondisi cetak sawah itu, karena saya tidak mau buat laporan yang salah, dengan hadirnya disini saya mau lihat langsung, cetak sawah itu katanya 50 Hektar, kalau menurut aturannya yang sebenarnya itu harus serahkan kepada masyarakat itu sudah bersih dan sudah siap menanam,” jelasnya.

Namun setealh dilakukan peninauan langsung di lapangan, kata Didi, masyarakat setempat ternyata tidak tahu menahu perihal pembukaan lahan yang diperuntukkan sebagai lokasi cetak sawah.

“Ternyata disana itu karena masyarakat juga tidak tahu menahu, seharusnya barang itu diserahkan ke masyarakat untuk siap dipakai, ternyata lokasi persawahan 50 hektar itu sekarang tidak ada yang jadi,” ucapnya.

Dilatakan, percetakan sawah yang menelan anggaran cukup besar tersebut lokasinya tidak efektif. Lokasi cetak sawah yang dibanggakan hanyalah tumpukan lumpur, disertai genangan air yang berlebihan.

“Lokasi persawahannya itu semua penuh lumpur, jadi lumpurnya itu saya ukur sekitar 30 centimeter lebih kedalamannya, jadi kalau kita masuk ke lokasi persawahan itu kita punya sepatu bahkan sampai dilutut tertanam di lumpur, pokoknya dilokasi persawahan itu air tergenang dan semua penuh lumpur,” ungkapnya.

Menurutnya, kemungkinan sejak proses penyerahan lokasi tersebut tanpa ada persiapan matang, sehingga dalam peruntukan dan pemanfaatannya yang semula diharapkan sebagai lokasi persawahan yang efektif, justru menjadi lahan kosong tanpa guna.

“Lokasi yang seluas 50 hektar itu diserahkan dalam keadaan yang belum siap pakai, hanya karena mungkin dipaksa supaya yang mengolah itu terima uangnya. Sementara kasian masyarakat tidak tahu mengolah sawah. Kemudian setelah saya lihat kondisi lokasinya, ternyata hanya jagung yang bisa tumbuh, itu pun dipematangnya saja ditempat yang kering-kering itu, tapi ditempat yang diolah untuk persawahan itu tidak ada yang jadi,” tutupnya. (*)

Visited 1 times, 1 visit(s) today