– Camat Kampontori: Minimnya Anggaran Hingga TPA Sampah Tidak Dibangun
Laporan: Ardi Toris
BUTON, BP- Mahasiswa FKM Unidayan melakukan pengalaman belajar lapangan (PBL) III di Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton. PBL III merupakan kelanjutan dari PBL I untuk mendata permasalahan kesehatan yang muncul dan PBL II mengintervensi permasalahan yang jadi prioritas.
Sedanhkan PBL III sendiri adalah kegiatan mengevaluasi intervensi yang dilakukan di PBL II berlangsung dari 1 Agustus sampai 12 Agustus 2017. Camat Kopontori Jufri T SKom yang hadir langsung dalam kegiatan itu mengatakan ingin mendengar langsung persentasi masing-masing koordinator desa (Kordes) atas permasalahan yang ditemukan di desa yang ada di Kecamatan Kampontori
“Permasalah ini saya lihat kesimpulannya masalah sampah dan jamban. Sebelumnya saya pernah jadi lurah dan memang masalah sampah ini sudah ada sebelum saya menjadi camat. Saya sudah usulkan ke pemda Buton namun memang masih terkendala dengan anggaran, ” ucapnya.
Masalah pembuangan akhir sampah diakuinya memang akan menjadi prioritas . Pihaknya berjanji akan terus mensosialisasikan kepada masyarakatnya untuk pembuangan sampah . “Kita memang harus mampu menjawab permasalahan sampah. Saya baru juga pulang dari Surabaya, luar biasa sampahnya tidak kelihatan. Rupanya peran pemerintahnya yang kuat, ” ucapnya.
Dia berharap kedepan ada bank sampah yang fungsinya bisa memanfaatkan bahan-bahan sampah menjadi bahan yang berguna dan bisa diolah menghasilkan uang. “Mari kita bantu masyarakat kita dengan ilmu yang kita miliki sehingga ilmu yang kita miliki memang benar-benar sempurna,” pintanya.
Dia pun memberikan masukan terkait pentingnya komunikasi yang dibangun antara mahasiswa yang PBL dan perangkat desa. Jufri mencontohkan bila mahasiswa membangun komunikasi yang baik dengan kepala desa maka tidak mungkin program itu tidak bisa berjalan.
“Sekarang ini kepala desa itu mengelola anggaran dana desa (ADD) sekitar Rp 800 juta per tahun. Jadi kalau ada kegiatan. Pemberdayaan yamg memerlukan dana pasti bisa dibantu, tinggal komunikasinya yang dibangun. Peran adik-adik itu sangat dibutuhkan untuk menyusun program pemberdayaan karena di desa masih ada, keterbatasan SDM. kan pembuatan tong sampah, SPAL, jamban umum semua pemberdayaa, ” ucapnya.
Dahmar SKM MKes, Dosen Pembimbing Lapangan III mengatakan bahwa apa yang dipaparkan Camat Kampontori harus bisa dicontohi misalnya harus bisa bangun komunikasi yang baik dengan semua pihak.
“Kalau kalian sudah lewati ini maka jadilah teladan agar bisa menjadi contoh dan apa yang jadi masukan dari Pak Camat juga sangat penting untuk kita aplikasikan saat kita kembali pulang di kampus dan lingkungan kita masing-masing, ” ucapnya.
Dalam sesi diskusi para Kordes yang jadi perwakilan mahasiswa memberikan gambaran singkat kepada Camat Kampontori atas hasil survei yang mereka lakukan selama dua pekan.
“Di desa memang sudah ada tempat pembauangan sampah hanya saja tidak ada tempat pembuangan akhir (TPA) hingga memang sulit kita bisa merubah prilaku masyarakat untuk hidup sehat dalam hal disiplin membuang sampah, ” ucapnya.
Senada dengan Kordea Wakangka Basri, katanya dari 183 responden, ada 156 yang masih membuang sapahnya di kebun dan di bakar dibelakang rumah. Begitu pula yang terjadi di desa Waondo Wolio,
Kordeanya Kaesan Muahammad menyebutkan 92.8 persen masyarakat di desa itu sampahnya di bakar dan 1.2 persen dibuang dihalaman rumah.
“Alhamdulilah setelah kami datang melakukan survei ,intervensi dan sosialisasi, intervensi penyadaran, Alhamdulilah Pak Desa Waondo Wolio merespon bagus dengan membuat tempat sampah, ” katanya.
Sementara di Desa Wakuli, Kordes Irnawati mengungkapkan permasalahan yang muncul di desa itu kurangnya masyarakat memiliki jamban. Dia mengatakan mayoritas masyarakat membuang tinjanya di semak-ssmak, kebun, dan ada juga yang buang air besar (BAB) di sawah. (***)
