Foto Saya
Foto Saya

oleh: Aliman
( PNS Pemerintah Kota Baubau)

Dalam serah terima jabatan (Sertijab) Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara Senin 24 Februari 2020 di Hotel Claro Kendari, Anggota VI BPK RI Dr. Harry Azhar Azis dalam sambutannya mengingatkan Kepala Daerah se Provinsi Sulawesi Tenggara mengenai pengelolaan APBD.

Menurutnya, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bukanlah tujuan akhir dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. WTP adalah prasyarat minimal pengelolaan keuangan negara/daerah, yang maksimal adalah setiap rupiah mempunyai nilai manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kalau kita tarik ke belakang pesan tersebut bagi pemerintah daerah adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang baru, istimewa, apalagi luar biasanya. Hampir semua Kepala Daerah di Indonesia niscaya salah satu target dari sekian banyak target yang dicanangkan dalam visi dan misinya adalah pengelolaan keuangan daerah dengan indikator capaian kinerja opini WTP. Artinya, sedari awal Kepala Daerah sudah menyadari bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir.
Pesan yang disampaikan oleh Anggota VI BPK RI tersebut bisa jadi akan menjadi pesan luar biasa bagi pemerintah daerah yang selama ini “terperangkap” dalam pola pikir bahwa opini WTP adalah segalanya. Tata kelola perencanaan pembangunannya dalam rangka pencapaian visi dan misi pembangunan sudah dianggap benar kalau sudah WTP. Tata kelola keuangan dan tata kelola aset atau Barang Milik Daerah (BMD) sudah dianggap benar karena sudah WTP. Padahal, opini WTP sebenarnya hanyalah sebuah indikator awal secara kualitas bahwa jalan yang ditempuh oleh pemerintah daerah sudah mengarah ke jalan yang benar sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.

Opini WTP belum bisa dijadikan sebagai indikator kuantitas yang komprehensif bahwa pemerintah daerah sudah menggunakan setiap rupiah dengan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Secara normatif, idealnya opini WTP dan pengalokasian setiap rupiah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat adalah linier dan bersifat kausalitas dua arah. Dalam logika awam, tata kelola keuangan daerah tidak mungkin akan mendapatkan opini WTP kalau tidak efisien, ekonomis, efektif, tertib, akuntabel, dan transparan. Suatu daerah tidak mungkin menggunakan setiap rupiah dengan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatkalau tidak efisien, ekonomis, efektif, tertib, akuntabel, dan transparan. Akan tetapi, ketika kausalitas dua arah tidak terjadi, dan justru tidak terjadi kausalitas, maka bisa jadi ada petunjuk kuat adanya permasalahan.
Dalam tataran teoritas maupun empiris, dapat diduga bahwa penyebab tidak adanya kausalitas antara opini WTP dengan pengalokasian setiap rupiah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tidak tunggal, melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Akan tetapi, menurut saya, salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan pada tidak terjadinya kausalitas dua arah antara opini WTP dengan pengalokasian setiap rupiah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat adalah belum handalnya dokumen perencanaan tahunan daerah atau Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD).
Mengapa demikian? Pemerintah daerah tidak boleh lupa bahwa keberadaan RKPD sangat penting dalam menentukan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan daerah, termasuk tata kelola keuangan daerah yang baik. RKPD adalah “induk” dari dokumen RencanaKebutuhan Barang Milik Daerah (RKBMD) dan dokumen perencanaan anggaran yaitu Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS) sehingga kalau substansi muatan RKPD memadai dan handal, maka kemungkinan besar RKBMD dan KUA/PPAS akan berkualitas, memadai, dan handal pula.

Sebaliknya, apabila kualitas RKPD tidak memadai dan kurang handal sebagai dokumen pedoman dalam penyusunan RKBMD dan KUA/PPAS, niscaya dokumen perencanaan barang dan perencanaan anggaran tidak memadai dan kurang handal. Seperti kata Benjamin Franklin seorang tokoh terkenal dari Amerika Serikat di abad 18 bahwa “If You Fail to Plan, You Plan to Fail”, jika gagal merencanakan, sama saja sedang merencanakan kegagalan. Dalam istilah lain, “Garbage In Garbage Out”,kalau inputnya sampah, maka hasilnya juga sampah.
Tentu saja, menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk memastikan bahwa dokumen RKPD betul-betul dapat diandalkan sebagai pedoman dalam penyusunan dokumen RKBMD dan KUA/PPAS. Oleh karena itu, setidaknya ada dua langkah pokok yang harus dilakukan. Pertama, penyusunan RKPD harus didukung dengan data base yang handal dan valid guna mengetahui sejauhmana capaian target dan seberapa besar target pembangunan ke depan akan ditetapkan. Data base adalah “darah” bagi perencanaan. Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith (2012: 525) dalam buku mereka yang berjudul Economic Development mengemukakan bahwa perencanaan tanpa atau kurang didukung data akan menipiskan ketepatan dan konsistensi rencana-rencana ekonomi secara kuantitatif. Selain itu, hanya akan mempersempit ruang gerak dan pilihan kebijakan untuk menciptakan atau mempercepat kemajuan pembangunan daerah.
Kedua, pemerintah daerah melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) harus memastikan bahwa pengalokasian pagu anggaran indikatif untuk semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) adalah bebas nilai ketika membuat keputusan apa yang seharusnya dianggarkan. Dalam perspektif teori normatif, penganggaran sebagaimana dikemukakan oleh Aaron Wildavsky (1961), pemerintah harus mempunyai kriteria yang jelas dan terukur untuk menentukan apa yang seharusnya dianggarkan. Dalam preposisi V.O. Key, Jr (1940) dalam artikelnya yang berjudul The Lack of Budgetary Theory, pemerintah daerah harus mampu memutuskan “atas dasar apa harus memutuskan untuk megalokasikan rupiah sebesar X untuk kegiatan A daripada kegiatan B?”
Saya mempunyai keyakinan yang besar pada pemerintah daerah untuk dan akan selalu mewujudkan pengelolaan keuangan daerah dengan opini WTP yang diikuti dengan pengalokasian setiap rupiah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sepanjang pemerintah daerah mempunyai aparatur-aparatur yang inisiatif dan mampu membuat suatu harmoni di mana kata menjadi tindakan nyata.

Dalam hal ini, saya semakin yakin bahwa syarat perlu (necessary condition) untuk mewujudkan kondisi tersebut apabila pemerintah daerah mempunyai aparatur-aparatur yang berkualitas, ditempatkan pada tempat yang benar, dan mempunyai moral yang benar (the right man on the right place with right morally).(**)

Visited 1 times, 1 visit(s) today