Lihat, dengar dan rasakan lebih dekat
Sudah berbulan-bulan, Rahman Wali, kakek berusia 60 tahun ini, terbaring lemah tak berdaya di ranjang reotnya. Ia menderita penyakit lumpuh, yang membuatnya tak bisa lagi melakukan aktivitas seperti biasa, seperti saat Ia masih dapat melihat, mampu berdiri, juga berjalan.
Catatan: LM Irfan Mihzan
Sebelumnya, saat Ia masih dalam kondisi sehat, Rahman dikenal sebagai seorang pekerja keras. Berbagai pekerjaan dilakoninya, mulai dari menjadi buruh bangunan, berjualan, hingga bekerja serabutan, demi mencukupi kebutuhan hidup bersama keluarganya.
Rahman tinggal disebuah rumah papan yang sangat sederhana, berukuran sempit, yang berdiri diatas lahan milik warga setempat, warga yang baik hati bernama Ibu Ani. Tepatnya di Kelurahan Kadolo Kecamatan Kokalukuna Kota Baubau.
Perlahan penyakit yang diderita Rahman merenggut kemampuan panca inderanya. Kakinya lumpuh tak memiliki daya, menyusul matanya menjadi buta.
Berawal dari informasi singkat yang saya dapatkan dari seorang teman Rusman Opunk, di Kelurahan Kadolomoko, Jumat (28/9) pagi.
Opunk memberitahukan keberadaan Rahman, dengan segala keterbatasannya. Dan yang lebih memprihatinkan, dari keterangan yang diberikan Opunk, Rahman hidup hanya ditemani seorang anaknya yang memiliki keterbelakangan mental, bernama Eko. Eko tak berpenghasilan tetap, dia hanya bekerja sekedar saja, saat tenaganya dibutuhkan sebagai buruh bangunan.
Saat menyambangi rumah Rahman, kami masuk melalui pintu belakang, melewati dapur yang terpisah dari badan rumah, juga sepetak ruang kecil yang difungsikan sebagai ruang MCK. Juga bertebaran jerigen putih, tempat menampung air.
Seluruh ruangan dalam rumah ini berlantai tanah, tak ada satu ruanganpun yang berlantai semen, apalagi keramik mengkilap, layaknya rumah para penikmat jabatan yang disana itu.
Saat itu dalam rumah telah ada Ibu Ani, tetangga baik hati yang meminjamkan sebidang tanah untuk Rahman, sehingga Rahman dapat membangun rumah sederhana ini, saat Rahman masih mampu bekerja. Sehingga Rahman bersama keluarga dapat berteduh dari terik mentari dan hujan.
Kala itu selain Ibu Ani, rupanya Rahman ditemani puterinya bernama Mey Wali berumur 18 tahun, yang selama ini menetap di Wanci Kabupaten Wakatobi. Mey pulang karena mendengar kabar sang ayah sakit keras.
Dari Mey lah saya banyak mendengar kisah tentang Rahman. Sebelum, dan selama Rahman menderita sakit lumpuh, dan belakangan menjadi buta.
Kata Mey, Ia memiliki tiga saudara laki-laki, dan seorang kakak perempuan. Yang lainnya telah menikah, hanya Mey dan Eko yang belum menikah. Sedangkan sang Ibu telah pergi meninggalkan rumah, tanpa ada kabar berita.
Mey tampak tegar, lembut Ia menjawab singkat setiap pertanyaan saya, sembari sesekali menyuapi sang ayah. Kala itu ayahnya diberi makan bubur, dengan kuah sayur kelor.
Sejak menginjakan kaki dalam rumah sederhana itu, rasa haru tak terbendung, sesak memenuhi dada. Namun sesekali saya harus tersenyum, karena rupanya dibalik derita sakitnya, Rahman masih sanggup tersenyum, sesekali bercanda.
Seperti ketika saya melontarkan pertanyaan kepada Mey, tentang kakaknya Eko.
Saya bertanya,”kalau Eko ada dimana?,” kata saya.
Belum sempat Mey menjawab pertanyaan saya itu, Rahman membuka suara,”dia heng anak itu,” kata Rahman, dalam ucapnya yang kurang jelas. Saat itu Rahman sambil tersenyum.
Sayapun berbalik melihat kearah Opunk, yang juga ikut tertawa kecil.
Rupanya ketika masih sehat bugar, Rahman memang dikenal sebagai orang tua yang kocak, dan suka humor. Kebiasaannya membuat orang tertawa.
Berlanjut, saya pun menanyakan kepada Mey, tentang pengobatan ayahnya selama ini. Mey mengatakan, ayahnya memiliki kartu jaminan kesehatan, Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Kata Mey, ayahnya pernah dirawat di rumah sakit umum Palagimata. Namun ironis, Mey mengaku, saat itu ayahnya hanya dirawat di UGD, tak kunjung dipindahkan ke kamar rawat inap. Kondisi ayahnya tak menunjukan perubahan yang sifnifikan.
“Sakitnya tidak sembuh, makanya kita minta untuk keluar saja. Dirawat di rumah saja,” kata Mey.
Yang mengejutkan kata Mey, saat itu ayahnya diminta membayar biaya perawatan sebesar Rp 900ribu. Dalam keadaan yang serba susah, dengan segala keterbatasan, mereka pun membayar biaya tersebut.
“Saya kaget karena ternyata bapak diminta bayar sembilan ratus ribu. Padahal kan bapak punya kartu kesehatan,” cerita Mey. Saat itu saya meminta kepada Mey untuk melihat dan memfoto Kartu KIS yang dia maksud, namun kartu tersebut tidak ada. Kata Mey, kartu itu entah dimana, sebab selama ini yang ada dalam rumah tersebut hanya Eko bersama ayahnya.
Mey mengatakan, sejak keluar dari rumah sakit, sang ayah kerap dirawat di rumah oleh perawat dari Puskesmas Kadolomoko.
Menurut informasi dari Opunk, kondisi yang sangat memprihatinkan dari keluarga Rahman Wali, adalah ketika mereka kehabisan bahan makanan, mereka harus berpuasa menahan lapar.
Apa pun, bagaimana pun, mengapa pun, keadaan Rahman Wali merupakan potret kehidupan warga “tidak mampu” yang ada di Kota Baubau. Yang membutuhkan perhatian Pemerintah, khususnya dalam pelayanan kesehatan, serta program sosial lainnya, yang tepat sasaran, yang optimal dalam implementasinya. (***)