Oleh : Muhammad Radhi Mafazi,S.Psi
(Pembimbing Kemasyarakatan di Bapas Kelas II Baubau)
Covid-19 yang sedang transit di Negara kita tercinta ini, adalah virus yang dibuat atau muncul dari Negara Cina, banyak sekali teori yang bermunculan mengenai asal muasal virus ini, hingga kita tidak tahu mana yang benar, seolah warga dunia sedang di “cuci” dengan teori konspirasi dari para ahli. Dalam tulisan kali ini penulis tidak akan membahas dari sisi medis mengenai virus yang mempunyai nama beken corona. Dalam tulisan ini akan membahas dari sisi sosial. Menurut para ahli ketika manusia, terjangkit virus ini gejalanya hampir sama dengan flu, tetapi diikut gangguan pernapasan. Media-media menyiarkan terus menerus, hingga masyarakat semakin tidak tenang, niat media membuat masyarakat waspada menjadi bias, yang dipersepsi menjadi sumber kepanikan, pada akhirnya kita tidak sengaja menekan tombol bom waktu ditengah masyarakat. Banyak sekali sesuatu yang dapat kita ambil dari adanya kejadian ini dengan mengevaluasi diri dan menambah pengetahuan mengenai virus yang satu ini.
Awal kemunculan virus ini diakhir tahun 2019 tepatnya 31 Desember di Wuhan, Provinsi Hubei,Cina. Menurut jejak digital yang bersumber dari BBC, Indonesia terserang pertama kali oleh virus ini pada bulan Februari 2020. Kita tidak siap untuk menerima tamu ini dengan baik, hingga ia terlalu berani menyentuh terlalu jauh, atau mungkin kita tidak menghormati serta menjamu tamu dengan baik, sehingga ia berani “menggerayangi” bagian vital dalam kehidupan bermasyarakat Negara ini. Banyak dari masyarakat kita yang tidak mematuhi tentang langkah preventif dari penangan virus ini, seperti psychal distancing atau gerakan sosial “dirumah aja”, mungkin akan banyak sekali dari kita yang tidak terima dengan banyak alasan pribadi, pada tanggal 30 Maret 2020 lalu presiden RI bapak Joko Widodo mengumumkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB) dan Darurat Sipil, diikuti dengan berbagai kebijakan bagi masyarakat yang ekonominya terdampak secara langsung. Peraturan ini dikeluarkan karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya persebaran virus ini, yang semakin hari persebarannya begitu masive.
Dalam literatur dan penelitian dalam bidang psikologi sosial perilaku sosial yang cenderung meremehkan awal kedatangan virus ini sehingga menjangkit semua wilayah di Indonesia dikenal dengan istilah Self-serving bias, adalah perilaku keberpihakkan yang menguntungkan diri sendiri, biasanya perilaku ini mudah membuat kita berprasangka dan sedikit egois, selain itu kita mudah sekali menilai orang lain, suatu tempat, suatu kelompok dan suatu pemikiran, sering secara tidak adil (mengambil keputusan) atau bahkan intoleran. Menurut ahli perilaku ini merupakan dasar dari sgala hal yang buruk dalam kemanusiaan.
Mark Manson pada bukunya Everything Is F*Cked, yang diterjemahkan oleh penerbit grasindo menyebutkan bahwa dunia terlalu membiaskan rasa kecewa yang akan dialami oleh manusia dengan cara mencampurkan rasa pahit yang berbalut rasa manis, yah kita kadang tidak mau menerima kenyataan pahit. Bahkan Mark menggambarkan bila dirinya menjadi seorang barista di Starbucks, ia akan menuliskan seperti ini, diatas kopi yang ia sajikan, “Kelak kamu dan semua orang yang kamu cintai akan mati. Dan dalam sekelompok kecil orang, selama waktu yang cukup singkat saja, hanya sedikit kata-kata atau tindakanmu yang masih berpengaruh. Inilah kebenearan yang menggelishakan tentang kehidupan. Dan semua yang kamu pikir dan kerjakan hanyalah utuk menghindari kenyataan itu. Kita adalah debu kosmik yang tidak berguna, bertabrakan dan berputar-putar seperti titik biru yang kecil. Kita sendiri yang merasa sok penting. Kita mencari-cari tujuan kita—kita bukan apa-apa (enjoy your f*cking coffee). Bagaimana?, apa yang kita rasakan ketika secangkir gelas kopi di pagi hari sebelum memulai aktifitas terdapat tulisan seperti itu, pasti hati kita “Ambyar” (read hancur), tetapi tenang itu hanya awal saja, selanjutnya kita akan merasakan bahwa barista sedang mengingatkan kita, bahwa dunia ini bukan hanya sekedar yang baik-baik saja. Bahkan dalam ajaran agama, dunia diibaratkan tempat ujian bagi manusia . Dalam paragraf berikutnya penulis memprediksi efek sosial yang sedang dan akan kita rasakan, dengan adanya pandemi ini, diibaratkan bom waktu yang sedang menghitung terhitung mundur dimulai dari virus ini menular pada satu orang di ibu kota, hingga hari ini menyentuh angka 1.000, hingga angka selanjutnya.
Kebijakan pemerintah seperti Work Form Home (WFH), Belajar dari rumah, untuk menangani penyebaran virus ini yang kian massif, sadarkah kita mengenai kebijakan ini mengajarkan bahwa sekarang kita pada tahap distruption era. Hal ini sudah dapat diprediksi dari jauh hari oleh beberapa ahli, termasuk dari Indonesia ada Prof. Rhenald Kasali pada bukunya yang berjudul distruption. Sebenarnya dampak distruption sudah dapat kita rasakan di beberapa kota besar, yang memiliki jaringan internet kuat, tetapi pada hari ini, karena pandemi yang disebabkan oleh wabah virus covid-19 kita dapat rasakan diseluruh daerah termasuk daerah pelosok, mau tidak mau suka tidak suka, khususnya penyedia layanan telekomunikasi memperluas kekuatan jaringan, serta masyarakat yang dahulu terisolasi dari jaringan dan tidak mau tau dengan perkembangan teknologi, kini mau tidak mau harus menelan pil pahit ini dengan perlahan namun pasti, dengan belajar mengoperasikannya. Bagaimana mungkin, pekerjaan yang dahulu harus dilakukan melalui tatap muka, pelayanan yang mengharuskan bertemu langsung, bisa terfasilitasi dengan adanya Video Call melalui banyak pilihan aplikasi, bagaimana mungkin yang dahulu rapat atau meeting harus sewa gedung, hotel atau minimal meeting room, sekarang kita bisa lakukan di rumah, jelas ini menghemat anggaran dan keadaan rumah bisa kita kontrol dengan baik. Tapi tahukah kita apa itu distruption. Kasali (2018) pada bukunya yang berjudul Distruption, mengartikan distruption sebagai proses, yang tidak terjadi seketika, dimulai dari ide, riset atau eksperimen, lalu proses pembuatan, pengembangan business model. Ketika berhasil, pendatang akan mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah yang diabaikan incumbent, lalu perlahan-lahan menggerus ke atas, ke segmen yang sudah dikuasai incumbent . Dalam buku tersebut Rhenald Kasali juga menjelaskan bahwa distruption dapat menyebabkan deflasi, harga turun, karena distruptor memulai low cost strategy, hal ini bisa kita lihat antara persaingan ojol dengan ojek pengkolan. Sejalan dengan pergerakan paradigma yang sedang mengalami perubahan diseluruh pelosok Indonesia yang mungkin belum tersentuh sama sekali, kini mereka semua bisa merasakan, inilah ciri khas dari distruption era, menurut Rhenald Kasali, ada tiga ciri dari distruption, yang ia singkat menjadi 3S, yaitu Speed, dimana semua berasa cepat atau biasa kita sebut semua serba instan, sekali klik bisa menentukan semuanya, S selanjutnya ialah Surprises atau kejutan, era ini banyak yang tidak diinginkan bisa terjadi, yang dahulu dihindari kini harus dilakukan, seperti dahulu kita tidak mau memakai medsos, karena permintaan dan peminat mengguna medsos mau tidak mau kita ikut menggunakannya sebagai bahan promosi, S yang terakhir ialah Sudden Shift, atau tiba-tiba berpindah, menerut Kasali sebenarnya mereka tidak menghilang hanya berpindah, seperti para pengguna jasa transportasi, sebenarnya mereka tidak menghilang hanya berpindah ke penggunaan aplikasi yang lebih efektif,efisien dan transparan perihal argo perjalanan. Sadarlah bahwa Distruption is real.
Kata yang sering kali muncul ketika pandemi ini muncul di media adalah ketahanan keluarga, mungkin kita yang lahir di medio 90-an keatas, kurang begitu familiar dengan istilah ini, tetapi inilah yang digadang-gadang oleh pemerintah, karena mungkin tidak mau “bias” untuk kedua kalinya dalam penanganan dampak dari virus Covid-19 secara sosial, akhirnya mengeluarkan kebijakan ketahanan keluarga. Kita tahu bahwa ketika di kota-kota besar dengan intensitas aktifitas yang begitu padat, bekerja dari matahari belum terbit hingga matahari terbenam, dari mulai anak belum bangun, hingga anak sudah terlelap tidur, menjadi masalah yang baru bagi keluarga yang jarang sekali berkumpul. Dikutip dari Liputan6.com (30/03/2020), bahwa tingkat perceraian di China melonjak tinggi, hal ini disebabkan oleh banyak pasangan di Negara tersebut yang menghabiskan terlalu banyak waktu sendiri akibat isolasi Virus Corona, menurut pejabat pendaftaran pernikahan di Dazhou, Provinsi Sichuan di China, lebih dari 300 pasangan telah menjadwalkan rencana untuk bercerai sejak 24 Februari 2020. Kemungkinan berdasarkan fakta dan data dari Negara yang pertama kali terkena dampak virus corona ini, membuat pemerintaah menggalakan ketahanan keluarga. Tidak semuanya dari era orde baru kita lupakan, walaupun memang banyak catatan hitam dalam sejarah perjalanan Negara ini pada era tersebut. Dalam ketahanan keluarga, mengatur peran setiap anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu dan anak. Jadi momentum inilah cara kita sebagai anggota keluarga mengukur seberapa besar peran kita dalam keluarga, apakah kita sudah mampu memainkan peran tersebut, atau selama ini kita hanya menjalankan rutinitas tanpa mengetahui esensi dari tugas sebagai anggota keluarga. Mungkin selama ini melupakan peran kita, sehingga yang dilakukan hanya sebatas formalitas, atau menuruti kemauan tradisi yang belum tentu relevan dengan kehidupan hari ini.
Terakhir yang tidak dapat kita pungkiri adalah paradigma berfikir mengenai hidup sehat, bahwa pentingnya menyuci tangan dengan baik dan benar. Dahulu di setiap depan rumah terdapat tadah air, pengganti keran untuk siapapun yang akan masuk rumah untuk mencuci tangannya telebih dahulu. Bahwa tak sembarangan alkhol bisa kita gunakan, apalagi sampai kita tenggak dengan alasan “konyol” untuk membunuh virus dari dalam tubuh, atau hal lainnya yang tidak relevan.
Kini kita berada dipenghujung penantian, selagi para ahli di bidang kesehatan menyelesaikan pandemi ini, kita tetap berada di rumah untuk membantu penekanan angka penyebarannya. Apapun ketika kita mau berusaha dengan baik dan benar kita bisa lakukan di rumah. Kini pelayanan pemerintah sudah dapat diakses melalui website, bahkan pengunjung di Lapas maupun Rutan tidak perlu datang langsung, karena Warga Binaan atau Narapidana sudah di fasilitasi oleh Lapas maupun Rutan melalui layanan Video Call. Layanan tatap muka kini tidak perlu lagi bertemu secara nyata, hanya perlu alat, dan sekali “klik” pada satu tombol. Pandemi ini menyadarkan kita tentang cara berpikir dunia yang sudah memasuki distruption era, mengajarkan kita tentang arti penting peran anggota keluarga dan bagaimana kita menghargai mereka, serta hidup sehat itu tidak perlu berpikir muluk-muluk cukup cuci tangan, dan atur semua pola makan, pola hidup yang proposional. Jadi Bom Waktu ini kita yang akan menentukan ledakannya, akankah ledakannya membuat kita tambah depresi karena di rumah saja atau kita akan menjadi pribadi yang lebih baru dengan menghargai sesama, termasuk menghargai diri kita sendiri. (**)